ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DALAM AGROEKOSISTEM

MAKALAH AGROFORESTRY
ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DALAM AGROEKOSISTEM




  
OLEH:
NAMA                   :  SILVESTER YULIANUS EKO SILI
NIM                       :  142380045
KELOMPOK       :  B
SEMESTER         :  V



  

PROGRAM STUDI PENYULUHAN PERTANIAN LAHAN KERING
JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN LAHAN KERING
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI
KUPANG
2016


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Di tengah perkembangan itu, lahirlah agroforestri. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan.
Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan, yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Ilmu ini mencoba mengenali dan mengembangkan sistem-sistem wanatani yang telah dipraktekan oleh petani sejak berabad-abad yang lalu. Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.
Agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarkat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.

1.2 TUJUAN                                              
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
Untuk menetahui aspek ekonomi social dan budaya dalam agroforestry.


BAB II
ISI
2.1 DEFINISI AGROFORESTRI
Sampai saat ini, belum ada kesatuan pendapat diantara para ahli tentang definisi agroforestri. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain. Bjorn Lundgren mantan Direktur ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry) mengajukan definisi agroforestri dengan rumusan sebagai berikut : ”Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu, dan lain-lain). Dengan tanaman pertanian dan hewan (ternak) atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.”
Dalam pedoman perum perhutani menjelaskan tentang agroforestri : “Merupakan sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman hutan dengan tanaman pertanian, peternakan, dan perikanan baik pada saat yang sama maupun yang berhubungan dengan tujuan peningkatan produktivitas dan kelestarian hutan.”
Jadi, pengertian umumnya agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengelolaan lahan yang sama, dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang berperan serta.
Dari beberapa definisi yang telah dikutip secara lengkap tersebut, agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tardisional (wanatani) yang meiliki unsur-unsur :
·         Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia.
·         Penerapan teknologi.
·         Komponen tanaman semusim, tanaman keras dan/atau ternak atau hewan.
·         Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu.
·         Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi.(Tohir, 1991).


Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree, (1982) adalah :
·         Agroforestri biasanya tersusun dari 2 jenis tanaman atau lebih (tanaman dan hewan). Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu.
·         Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
·         Agar interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
·         Selalu memiliki 2 macam produk atau lebih misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan , obat-obatan.
·         Minimal mmpunyai satu fungsi pelayanan jasa, misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh, sehingga dijadikan berkumpulnya keluarga atau masyarakat.
·         Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis , agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomassa terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.
·         Sistem agroforestri yang paling sederhana pun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.
Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lannya, yaitu dalam hal:
1. Produktivitas
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforetri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2. Keanekaragaman
Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan keanekaragaman yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanenan sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).
3. Kemandirian
Penganekaragaman yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sealigus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (pupuk, pestisida), dengan keanekaragaman yang lebih tinggi dari pada sistem monokultur.
4. Stabilitas
Praktek agroforetsri yang memiliki keanekaragaman dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas dan kesinambungan pendapatan petani.

2.2 KONSEP EKONOMI DALAM AGROFORESTRY
Sistem agroforestri dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik (dalam Bahan Ajaran 4) sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi. Seperti juga dalam interaksi biofisik, interaksi ekonomi antar komponen dalam sistem agroforestry dapat bersifat menguntungkan, netral, maupun kompetitif. Dasar penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif, yang akan menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula.
Kenaikan output pada tingkat sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah output fisik atau kenaikan harga per satuan output. Yang pertama mungkin disebabkan interaksi biofisik yang positif, yang kedua dapat disebabkan kualitas produk atau waktu panen yang tepat. Demikian juga penurunan biaya input dapat disebabkan oleh penurunan jumlah output yang dibutuhkan, atau penurunan harga per satuan input. Pada umumnya, interaksi biofisik yang positif akan menghasilkan penurunan biaya input, misalnya dari segi tenaga kerja dan penggunaan sumber daya yang lain. Adanya naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga kebutuhan tenaga kerja berkurang. Dengan adanya berbagai komponen dengan waktu panen yang berbeda, distribusi tenaga kerja menjadi merata. Contoh yang lain, di Costa Rica kopi yang ditanam di bawah naungan Cordia alliodora mengalami panen raya 2,5 minggu lebih lambat dibandingkan dengan yang tanpa naungan (Hoekstra, 1990). Hal ini membuat petani memiliki posisi tawar yang relative tinggi, karena terhindar dari surplus produksi pada saat yang bersamaan.

2.3 IDENTITAS SOSIAL BUDAYA DALAM AGROFORESTRY
Pengambilan keputusan petani dalam pengusahaan agroforestri tidak selalu didasarkan kepada pertimbangan finansial atau dengan kata lain pertimbangan finansial tidak selalu menjadi aspek nomor satu dalam pengambilan keputusan tetapi ada aspek sosial budaya yang lebih dominan. Sebagai contoh (lihat Kolom 11), walaupun pendapatan terbesar dari Repong Damar adalah pada fase penanaman lada, namun masyarakat Krui tidak lantas memilih untuk menanam lada saja secara monokultur yang sebenarnya lebih menguntungkan. Hal ini dipengaruhi ada faktor-faktor sosial budaya yang mendorong masyarakat untuk membangun Repong Damar, di antaranya adalah adanya rasa kebanggaan apabila seseorang dapat mewariskan Repong Damar kepada anak cucunya.
Pemenuhan kebutuhan jangka panjang merupakan salah satu alasan petani menanam pohon. Produksi pohon yang dapat diambil secara kontinyu sangat cocok sebagai ‘tanaman pensiun’. Adanya tanaman pensiun ini membuat mereka lebih percaya diri, karena mereka tidak akan tergantung pada orang lain di masa tua mereka. Mengingat keterbatasan tenaga dan kekuatan fisik yang semakin menurun, mereka cenderung memilih tanaman tahunan yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif dan berat, namun memberikan penghasilan secara kontinyu.
Sistem penggunaan lahan yang diterapkan secara perorangan harus selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan dan hubungan mereka dengan alam. Bentuk bentang lahan penggunaan lahan dan perkembangannya merupakan bagian dari identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Petani biasanya memiliki kebutuhan yang kuat untuk memihak pada budaya setempat. Sejarah dan tradisi memainkan peranan penting dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan lahan mereka. Perubahan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual mereka, bisa menyebabkan stress dan menciptakan kekuatan yang berlawanan. Kemampuan untuk memperoleh kehidupan yang layak (termasuk mewariskan sesuatu kepada anak cucu) dan sesuai dengan budaya setempat akan memberikan rasa harga diri pada individu atau keluarga. Identitas suatu keluarga petani atau komunitas dipertahankan dengan teknologi yang memungkinkan mereka menjadi mandiri dan mampu mengendalikan pengambilan keputusan atas pemanfaatan sumber daya dan produk setempat (Reijntjes et al., 1992).

2.4 ASPEK HUBUNGAN SOCIAL DALAM AGROFORESTRY
Selain dari aspek hukumnya, sistem penguasaan sumber daya agroforestry mengandung aspek hubungan sosial. Hubungan sosial itu dapat berupa hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani, hubungan sewa atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai lahan, hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri. Hubungan social itu menunjukkan posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihakpihak) yang terlibat. Siapa (pihak) yang memegang kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya agroforestri akan menentukan pola hubungan tersebut dan menentukan sistem agroforestri yang dikembangkan.
Adanya perkembangan sosial ekonomi, hubungan-hubungan social berkembang dan aturan penguasaan sumber daya agroforestri semakin kompleks. Misalnya di pedesaan Jawa sudah lama berkembang sistem sewa, gadai, bagi hasil sehingga hak atas lahan dapat terpisah dari hak atas tanaman. Di Malang, Jawa Timur berkembang sistem kontrak budidaya apel, seseorang dapat menguasai tanaman apel yang dibudidayakan di atas lahan milik orang lain sedangkan pemiliknya masih dapat membudidayakan sayur mayur pada lahan yang sama dengan sistem agroforestri (Suryanata, 2002). Bentuk lain pola kerjasama budidaya agroforestri yang melibatkan dua pemegang hak yang terpisah yaitu pemegang hak atas lahan dan pemegang hak atas tanaman adalah sistem tumpangsari yang dikembangkan oleh Perum Perhutani bekerjasama dengan petani (Kartasubrata, 1995), sistem nurut yang dikembangkan oleh petani di Sukabumi (Suharjito, 2002). Pada masyarakat Ende (Lio) juga berkembang sistem kewe, yaitu penyewaan lahan dari pihak pemilik kepada pihak penyewa, penyewa menyerahkan sejumlah uang atau ternak dan ia dapat menggunakan lahan untuk jangka waktu tertentu (Teluma, 2002).



BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri adalah sistem teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan hewan ternak atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Sistem agroforestri dapat dikatakan menguntungkan dari sisi ekonomi apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik (dalam Bahan Ajaran 4) sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi.
Sistem penguasaan sumber daya agroforestry mengandung aspek hubungan sosial. Hubungan sosial itu dapat berupa hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani, hubungan sewa atau gadai antara pemilik lahan dengan penyewa atau penggadai lahan, hubungan kontrak lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang mengkontrak lahan untuk budidaya agroforestri. Hubungan social itu menunjukkan posisi-posisi dan kekuasaan-kekuasaan orang-orang (pihakpihak) yang terlibat. Siapa (pihak) yang memegang kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya agroforestri akan menentukan pola hubungan tersebut dan menentukan sistem agroforestri yang dikembangkan.




  
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. http://www.pemberdayaan-petani.html. Diakses tanggal 18 Desember 2009.
Anonim. http://www.MemakmurkanKehidupanPedesaan_DhimasBlog.htm. Diakses tanggal 18 Desember 2009.
Anonim. http://www.KiprahAgroforestri.htm. Diakses tanggal 18 Desember 2009.
Anonim. http://www./lecnote-Ind.asp.htm. Diakses tanggal 18 Desember 2009.
Anonim. http:///www./agf-def.htm. Diakses tanggal 18 Desember 2009.
Anonim. http://worldagroforestrycentre.org/sea. Diakses tanggal 18 Desember 2009.
Perum Perutani. 1990. Pedoman Agroforestri dlam Program Perhutanan Sosial. Jakarta.
Sudiyono, Armand. 1997. Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan. Malang. UMM Press.
Tohir, Kaslan A. 1991. Usaha Tani Indonesia. Jakarta. PT Rineka Cita.



Comments

Popular posts from this blog

PERBEDAAN PROGRAM DAN PROGRAMA PENYULUHAN